Oleh Ilham Prisgunarto
Diakui atau tidak sosok perpustakaan sebagai sebuah institusi informasi semakin usang di antara ‘hingar-bingar’ kemajuan teknologi informasi yang sarat dengan kehandalan konvergensi medianya. Perpustakaan bagi kebanyakan orang hanyalah sebuah ruangan sempit di ujung koridor sekolah yang penuh debu dan tidak menarik sama sekali. Ditambah dengan petugasnya yang galak dan koleksi bukunya yang sangat minim karena kebanyakan hanyalah berisi buku-buku pelajaran yang sudah dimiliki para murud.
Para guru juga menggunakan perpustakaan hanya sekadar untuk meminjam surat kabar dan menitipkan anak selama ia mengajar. Hal terparah adalah sosok kepala sekolah yang tidak pernah terlihat sekali juga menginjakkan kaki di ruang perpustakaan. Koleksinya hanyalah buku-buku yang tidak disusun secara ‘apik’, hanya ditumpuk-tumpuk di dalam kardus.
Demikianlah gambaran menyedihkan sebuah perpustakaan yang penulis yakini ada di kepala sebagian kita. Situasi tersebut memang lebih menggambarkan perpustakaan-perpustakaan untuk sekolah-sekolah negeri, tidak demikian dengan sekolah-sekolah swasta. Di mana siswa-siswa dapat dengan leluasa berada di ruang perpustakaan yang mewah dilengkapi dengan penyejuk ruangan, furnitur mahal, juga semerbak pewangi ruangan yang tak jarang sarat dengan keberadaan media literatur teknologi baru, seperti VCD, DVD, CD bahkan fasilitas internet. Pustakawannya ramah dan ‘perlente’ dengan dilengkapi alat temu balik koleksi yang sudah canggih dengan menggunakan gawai piranti komputer.
Demikianlah perbandingan gambaran perpustakaan di dua dunia yang saling bertolak belakang yang padahal hanya karena perbedaan masalah alokasi finansial pengembangan. Walau memang ada beberapa sekolah negeri di bilangan Jakarta Selatan yang cukup membanggakan dalam pengembangan perpustakaan sekolah dengan berani mempromosikan diri lewat pameran-pameran perpustakaan. Dua sisi dunia perpustakaan sekolah di atas yang perlu dikritisi di sini adalah kesamaan paradigma yang berlaku di keduanya.
Dari banyak pengalaman penulis kebanyakan tujuan dan misi yang hendak dicapai pihak sekolah dalam mengembangkan perpustakaan adalah sama yakni hanya untuk kebanggaan pribadi belaka bukan misi perpustakaan pada umumnya. Bagi banyak sekolah swasta alasan mereka mendirikan dan mengembangkan perpustakaan hanya untuk menunjukkan kehebatan fasilitas bukan pada arti dan makna fungsi perpustakaan sebagai pusat belajar sebenarnya. Tak jarang sering didapati perpustakaan yang ada hanya handal dalam fasilitas yang serba mewah, tetapi tidak dalam penularan program misi perpustakaan yang sesungguhnya kepada masyarakat.
Satu hal yang sangat membosankan, mengapa tiap membicarakan pengembangan perpustakaan yang kerap dibesar-besarkan hanya berkutat pada permasalahan penambahan alokasi dana pengembangan dan bukan profesionalisme pengelolaan. Padahal bila mau dikaji ulang kedua hal itu hanyalah kendala klasik yang sifatnya mikro bagi keberadaan sebuah perpustakaan. Bila berbicara kedua hal tersebut yang muncul hanyalah sebuah arena ‘debat kusir’ yang tiada habis-habisnya untuk dibahas dan untuk dicari solusinya. Memompa dana ke perpustakaan hanyalah seperti mengisi ‘tong kosong’ yang berlubang di bawahnya yang tidak akan pernah penuh, demikian juga dengan dilematis keberadaan pustakawan yang melulu terpuruk dengan masalah citra yang disandangnya.
Adanya mitos-mitos seperti di atas inilah yang bagi banyak pemegang kebijakan begitu ‘alergi’ bila membicarakan pengembangan perpustakaan. Program penggalakan perpustakaan hanyalah suatu ‘isapan jempol’ belaka. Penciptaan perpustakaan sebagai media ajar luar sekolah dalam upaya pencerdasan bangsa hanyalah ‘angin-angin surga’. Menghilangkan dan mengurangi peran tunggal guru dalam proses belajar mengajar adalah sesuatu yang ‘muskil’ di Indonesia ini. Apalagi dengan tidak berjalannya segala bentuk model program siswa aktif. Seolah-olah sudah terpatri konsep bahwa untuk belajar perlu guru, tidak mungkin dapat autodidak hanya dengan menuntut ilmu lewat media ajar dan literatur.
Pendapat sinis yang muncul bagi penulis sebagai pustakawan adalah: apakah pencuatan isu-isu klasik sedemikian hanyalah suatu bentuk ‘penunggangan’ program perpustakaan untuk perolehan alokasi penyetoran dana yang berpangkal pada perolehan keuntungan segelintir oknum? Pertanyaan retoris inilah yang perlu dicermati oleh semua pustakawan yang semakin terpuruk karena terkena imbas sebagai penghabis dana anggaran belaka. Dengan pembuatan sikap oleh media sedemikian membuat pengelola perpustakaan tidak malu untuk meminta dana kepada pemilik kebijakan untuk pengembangan yang tidak pernah terealisasi. Sehingga citra yang tergambar bagi pemberi kebijakan adalah orang di balik layar perpustakaan, yakni pustakawan adalah sosok penghabis dana institusi yang tidak pernah akan puas dalam merealisasikan programnya. Inilah salah satu pangkal permasalahan terpuruknya dunia kepustakawanan di masyarakat. Jadi jelas pemicu bobroknya profesi perpustakaan tidak hanya semata kesalahan para pustakawan itu sendiri.
Pengenalan-pengenalan program misi perpustakaanlah yang seharusnya ditonjolkan dalam upaya program pengembangan perpustakaan, bukan malah melenceng pada masalah minat dan budaya baca yang akhirnya mengarah pada dunia dagang literatur yang tak lain kembali berpihak pada bisnis industri media yang dianggap lebih memiliki nilai finansial. Kegandrungan ke dunia penjualan literatur tersebut malah membuat orang melupakan program perpustakaan yang dianggap sebagai institusi nirlaba usang yang selalu menghabiskan ‘kocek’.
Alhasil sinisme yang dilontarkan oleh masyarakat terhadap perpustakaan adalah pemilihan dan pengembangan koleksinya yang ‘mandek’. Bagi banyak penerbit mereka ‘enggan’ mendekati perpustakaan karena ada anggapan bahwa perpustakaan hanyalah institusi yang sering meminta bahan gratis atau potongan harga yang kurang memiliki keuntungan bagi mereka. Perpustakaan sebagai ruang publik yang dapat digunakan sebagai promosi produk adalah sebuah ‘omong kosong’ bagi mereka. Hal ini akibat dari tidak berjalannya program-program perpustakaan yang ada. Mereka memberikan potongan atau sumbangan literatur tetapi tidak ada pengunjungnya, untuk apa? Hanya membuang-buang uang saja, demikian mungkin pikir mereka. Jadi tidak bisa disalahkan juga para penerbit dalam hal ini.
Guna menghidupkan kembali fungsi perpustakaan sebagai ruang publik bertemunya banyak orang dan sarana pempublikasian inilah yang seharusnya difokuskan pada program perpustakaan dalam lingkup nasional. Melek perpustakaan, demikianlah istilah yang sesuai untuk digunakan. Melek perpustakaan ini bukanlah sesuatu yang mudah, tapi cukup sulit dan memerlukan waktu yang lama. Penggalakan program ini sangat cocok bila di mulai di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Perpustakaan seharusnya bisa diperkenalkan sejak kecil, ketika seseorang masih di Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar. Bukan berarti program melek dan kenal perpustakaanhanya diperuntukkan pada anak-anak tetapi juga pada remaja dan orang dewasa yang intinya adalah kita semua.
Berpijak pada istilah ‘tak kenal maka tak sayang’ demikian juga dengan keberadaan perpustakaan di masyarakat. Ini berarti pengenalan perpustakaan seharusnya lebih menyentuh pada gemar hidup berperpustakaan di mulai dengan penciptaan perpustakaan pribadi, dalam hubungannya dengan manajemen dan pengelolaan koleksi literatur pribadi. Mengapa hal yang sepertinya sepele ini dipermasalahkan oleh penulis? Sebab dari banyak kasus terbukti gagalnya mahasiswa tingkat akhir sebagian besar lantaran tidak akrabnya mereka dengan perpustakaan, sehingga mereka kesulitan dalam penyusunan skripsi, tesis dan karya tulis, karena frustasi pada penelusuran literatur di maksud.
Di samping sekolah-sekolah juga perlu ada program pengenalan perpustakaan lewat ruang-ruang publik yang sudah tercipta di masyarakat, seperti pusat-pusat perbelanjaan, mal dan bioskop-bioskop, juga stasiun dan terminal. Coba Anda bayangkan ada tidak perpustakaan di tempat-tempat efektif tempat berkumpulnya manusia di sana? Tidak ada tempat yang nyaman bagi orang untuk dapat relaks keluar dari dunia nyatanya dan masuk dalam dunia maya di mana ia dapat berkomunikasi langsung dengan pengarang buku atau media literatur yang mungkin berbeda ratusan tahun dengan dirinya saat ini.
Bila semua orang sudah melek perpustakaan, mungkin keadaan tidak seperti saat ini, di mana sosok perpustakaan dalam penayangan film dan sinetron remaja, dan latar sekolah sering diabaikan atau malah salah dipersepsi karena diyakini si pembuat film atau sinetron sendiri tidak tahu gambaran apa yang ia harus berikan? Paling banter buku disusun dan banyak orang membaca, padahal kegiatan itu hanyalah segelintir jasa layanan yang diberikan oleh perpustakaan. Tidak seperti banyak film-film asing yang menampilkan perpustakaan sebagai sarana berkomunikasi, baik dengan sesama maupun dengan pustakawan dalam mencari tahu sesuatu yang ia tidak mengerti.
Akrab dengan perpustakaan dan tahu keberadaannya adalah inti dari semua pemaparan premis-premis dalam tulisan ini. Bagi penulis sebagai pustakawan, masalah klasik pendanaan, pengembangan koleksi dan pengelolaan merupakan lingkaran setan yang perlu dihindari dalam membicarakan program pengembangan perpustakaan lingkup nasional. Budaya sikap hidup perpustakaan sehari-hari adalah pendekatan yang tidak akan menjatuhkan gengsi pustakawan. Alhasil mereka tidak akan dianggap sebagai aktor yang selalu ‘merengek’ uang belanja kepada pemegang kebijakan. Dalam hal ini tentu saja dapat dimulai pada setiap individu dalam gerak hidupnya, jadi tidak perlu mempertanyakan dan me permasalahkan di mana peran Perpustakaan Nasional dan Ikatan Pustakawan Indonesia yang kian hari semakin tidak terdengar program dan aktivitas geraknya.
Penulis adalah asisten pengajar Jurusan Ilmu Perpustakaan FIB-UI
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/12/opi02.html